GEDUNG SCS TEGAL

(Foto Gedung SCS, Pribadi, 2020)

    Salah satu dari peninggalan Belanda di bidang infrastuktur bangunan berupa gedung dengan arsitektur bergaya kolonial khususnya di pulau Jawa. Dari gedung bergaya kolonial tersebut disesuaikan dengan musim di Indonesia yaitu musim tropis. Salah satu dari gedung peninggalan Belanda tersebut ialah Gedung SCS (
Semarang-Cheribon Stoomtrams Maatschappij) yang disebut juga dengan Gedung Biro terletak persis didepan Stasiun Tegal daerah Tegal, Jawa Tengah (Wulansari, 2019).

    Gedung SCS menjadi saksi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Gedung SCS Tegal dibangun pada tahun 1913 dibawah perusahaan kereta api NIS yang dibangun pada tahun 1895. Gedung SCS dirancang oleh  Henricus Maclaine Pont yang terkenal dengan perancangan kampus TH Bandung (sekarang Gedung ITB) yang terkenal sampai sekarang. Dalam perancangannya, Maclaine Pont menggabungkan ilmu arsitektur kolonial dengan adaptasi iklim yang berada di Pulau Jawa khususnya Kota Tegal. Gedung SCS adalah karya pertama Henri Maclaine Pont sejak ia kembali ke Indonesia (Wulansari, 2019).
    
    Gedung SCS pada zaman kolonial Belanda difungsikan sebagai kantor perkeretaapian yang mengurus perkeretaapian dari daerah Cirebon sampai Semarang. Lalu pada zaman penjajahan Jepang, Gedung SCS dialihfungsikan sebagai kantor kemiliteran Jepang (Gunseikan) di daerah Tegal, Jawa Tengah yang berdampak pada transportasi perkeretaapian yang mengalami kemunduran sebelum Perang Dunia ke-2 (Wulansari, 2019).

    Pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya tanggal 10 September 1945, gedung ini menjadi saksi pergerakan orang-orang Tegal dalam memerangi penjajahan yaitu dengan mengibarkan bendera Merah Putih yang pada saat itu dilarang dikibarkan (Wulansari, 2019).

    Kemudian pada tahun 1980 ditempati oleh UPS Tegal sebagai kampus II sampai kontrak izin habis. Setelah kontrak UPS Tegal habis, gedung ini dibiarkan begitu saja hingga pada bulan Juni tahun 2014, Gedung SCS Tegal mulai dipugar dan selesai sekitar bulan April 2015. Sekarang sudah diambil kembali oleh PT KAI, dan PT KAI sendiri kabarnya akan menggunakannya untuk Balai Diklat (Wulansari, 2019).
   
    Dalam merancang bangunan, Maclaine Pont merancang bangunan tersebut berdasarkan pendidikan arsitektur di Indonesia, karena perancangan pembangunan gedung di Indonesia sangat berbeda dengan perancangan pembangunan gedung di Belanda. Maclaine Pont mengawali perancangan gedung dari pengenalan bangunan hingga memiliki pengetahuan dalam hal merencanakan bangunan. Ditambah dengan ilmu-ilmu pengetahuan penunjang lainnya yang dia kuasai agar bangunan tersebut mampu dibangun, estetis, dan berwawasan lingkungan (Budiyuwono, 2015: 5-6).
    
    Berdasarkan wawancara dengan Pak Bambang Eryudhawan (9 Desember 2019) diketahui bahwa keistimewaan dari Gedung SCS sebagai pengenalan arsitektur adalah :

1) Gedung SCS merupakan perpaduan dari Arsitektur Eropa dengan kondisi iklim di Indonesia, khususnya Pulau Jawa.

2) Gedung SCS sebagai tolak ukur untuk para arsitek Belanda yang mencoba membuat bangunan yang sesuai dengan konsep arsitektur kolonial di Indonesia.

    Iklim tropis Indonesia adalah iklim tropis dengan suhu lembab dikarenakan Indonesia memiliki pulau-pulau yang memiliki banyak lautan, dan hutan-hutan yang menyimpan banyak kelembapan sehingga Henri Maclaine Pont merancang bangunan Gedung SCS berdasarkan dengan kondisi iklim, dan banyak melihat fenomena cuaca yang berada di Indonesia (wawancara dengan Ibu Dyah Nurwidyaningrum 9 Desember 2019).

    Akibat karakteristik iklim Indonesia dan iklim Belanda yang berbeda, akhirnya Maclaine Pont merancang kantor NIS di Tegal dengan cara: 

1)   Iklim, sinar matahari dan gaya hidup masyarakat setempat selalu perhatian utama dalam menyadari bahwa lingkungan menjadi bagian yang menyatu dengan bangunan. Pertimbangan dalam peletakan bangunan tidak hanya pada masalah lalu lintas, di sekitar alun-alun, masjid, kabupaten, dan kemudian tempat tinggal Gubernur, tetapi juga arah mata angin. Pada Gedung SCS di Tegal, Maclaine Pont memilih peletakan memanjang menurut arah Timur-Barat, agar pintu dan jendela terdapat pada sisi Utara-Selatan. Dengan begitu, cahaya matahari langsung dari Barat dan Timur dapat dihindari, sekaligus mendapat angina sebanyak-banyaknya dari Utara (angin laut siang hari), dan Selatan (angin darat malam hari). Seperti pada hampir semua bangunan pada waktu itu, unit utama di depan terpisah dengan unit pelayanan (kamar mandi, toilet, gudang, dan lain-lain) yang jauh lebih kecil di bagian belakang (Sumalyo, 1995: 11-12).

Konsep toilet yang dipisah dengan gedung utama karena sumber air yang berasal dari sumur dan toilet pada saat itu masih bau, karena belum ada cara  untuk menghilangkan bau dari toilet tersebut, dan gudang dipisah dengan bangunan utama karena fungsi gudang adalah menyimpan barang-barang berharga milik gedung utama (wawancara dengan Bapak Bambang Eryudhawan 9 Desember 2019).

Dan juga pada saat itu terdapat kepercayaan dari konsep bangunan barat pada saat itu adalah bangunan adalah tempat suci bagi para dewa, dan toilet dianggap kotor dan tidak suci (wawancara dengan Ibu Dyah Nurwidyaningrum 9 Desember 2019).

2)   Membuat bentuk atap dan penutup atap yang berbeda dengan bangunan-bangunan bergaya Yunani di Eropa yang populer dimasa itu. Oleh Maclaine Pont, atap bangunan NIS di Tegal dirancang menggunakan konstruksi kayu, dengan bahan penutup atap adalah genteng tanah liat. Ruangan dibawah atap untuk sirkulasi udara guna mengurangi udara panas matahari kedalam bangunan. Lalu dibuat bentuk atap miring sebagai ciri khas dari atap iklim tropis (Budiyuwono, 2015: 5-6).  

Fungsi dari atap yang miring karena atap miring adalah ciri khas dari arsitektur bangunan Indonesia yang berfungsi untuk mengalirkan air hujan dan meredam panas dari sinar matahari (wawancara dengan Bapak Bambang Eryudhawan 9 Desember 2019).

3) Menghilangkan tungku pemanas ruangan seperti lazimnya bangunan-bangunan di Belanda, dengan mempertimbangkan lokasi kota Tegal yang berada di pantai laut Jawa (Budiyuwono, 2015: 5-6).

    Ruang dapur juga dipisah dengan gedung utama karena dianggap tidak sehat oleh orang Belanda karena pada saat itu bahan bakar untuk memasak adalah kayu bakar (wawancara dengan Ibu Dyah Nurwidyaningrum 9 Desember 2019).

Setelah merancang desain tersebut, maka dibangunlah Gedung SCS Tegal yang memiliki luas bangunan ± 7.106 meter berdiri diatas tanah seluas ± 11.000 meter. Panjang bangunan ini ± 120 meter dengan lebar ± 42 meter dan tinggi ± 36 meter. Pemilihan pada batu bata dan kayu yang menjadi bahan utama, menjadikan bangunan ini unik dan mampu menyesuaikan dengan iklim tropis di Indonesia yang memiliki ciri khas arsitektur kolonial dengan gaya arsitektur modern yang ditandai dengan volume bangunan yang berbentuk kubus, gevel horizontal, atap datar serta didominasi oleh warna putih (Wulansari, 2019).

Fungsi dari pemilihan material bangunan yang terbuat dari kayu karena pada saat itu persediaan kayu masih sangat berlimpah, dan kayu juga mencirikan bangunan dari Indonesia (wawancara dengan Ibu Dyah Nurwidyaningrum 9 Desember 2019).

 

 

 

Komentar

Postingan Populer