GEDUNG SCS TEGAL
1) Gedung SCS merupakan perpaduan dari Arsitektur Eropa dengan kondisi iklim di Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
2) Gedung SCS sebagai tolak ukur untuk para arsitek Belanda yang mencoba membuat bangunan yang sesuai dengan konsep arsitektur kolonial di Indonesia.
Iklim tropis Indonesia adalah iklim tropis dengan suhu lembab dikarenakan Indonesia memiliki pulau-pulau yang memiliki banyak lautan, dan hutan-hutan yang menyimpan banyak kelembapan sehingga Henri Maclaine Pont merancang bangunan Gedung SCS berdasarkan dengan kondisi iklim, dan banyak melihat fenomena cuaca yang berada di Indonesia (wawancara dengan Ibu Dyah Nurwidyaningrum 9 Desember 2019).
Akibat karakteristik iklim Indonesia dan iklim Belanda yang berbeda, akhirnya Maclaine Pont merancang kantor NIS di Tegal dengan cara:
1)
Iklim,
sinar matahari dan gaya hidup masyarakat setempat selalu perhatian utama dalam
menyadari bahwa lingkungan menjadi bagian yang menyatu dengan bangunan.
Pertimbangan dalam peletakan bangunan tidak hanya pada masalah lalu lintas, di
sekitar alun-alun, masjid, kabupaten, dan kemudian tempat tinggal Gubernur,
tetapi juga arah mata angin. Pada Gedung SCS di Tegal, Maclaine Pont memilih
peletakan memanjang menurut arah Timur-Barat, agar pintu dan jendela terdapat
pada sisi Utara-Selatan. Dengan begitu, cahaya matahari langsung dari Barat dan
Timur dapat dihindari, sekaligus mendapat angina sebanyak-banyaknya dari Utara
(angin laut siang hari), dan Selatan (angin darat malam hari). Seperti pada
hampir semua bangunan pada waktu itu, unit utama di depan terpisah dengan unit
pelayanan (kamar mandi, toilet, gudang, dan lain-lain) yang jauh lebih kecil di
bagian belakang (Sumalyo, 1995: 11-12).
Konsep
toilet yang dipisah dengan gedung utama karena sumber air yang berasal dari
sumur dan toilet pada saat itu masih bau, karena belum ada cara untuk menghilangkan bau dari toilet tersebut,
dan gudang dipisah dengan bangunan utama karena fungsi gudang adalah menyimpan
barang-barang berharga milik gedung utama (wawancara dengan Bapak Bambang
Eryudhawan 9 Desember 2019).
Dan
juga pada saat itu terdapat kepercayaan dari konsep bangunan barat pada saat
itu adalah bangunan adalah tempat suci bagi para dewa, dan toilet dianggap
kotor dan tidak suci (wawancara dengan Ibu Dyah Nurwidyaningrum 9 Desember
2019).
2)
Membuat bentuk atap dan penutup atap yang berbeda dengan
bangunan-bangunan bergaya Yunani di Eropa yang populer dimasa itu.
Oleh Maclaine Pont, atap bangunan NIS di Tegal dirancang menggunakan konstruksi
kayu, dengan bahan penutup atap adalah genteng tanah liat. Ruangan dibawah atap
untuk sirkulasi udara guna mengurangi udara panas matahari kedalam bangunan. Lalu
dibuat bentuk atap miring sebagai ciri khas dari atap iklim tropis (Budiyuwono,
2015: 5-6).
Fungsi dari atap yang miring karena atap miring adalah ciri khas dari arsitektur bangunan Indonesia yang berfungsi untuk mengalirkan air hujan dan meredam panas dari sinar matahari (wawancara dengan Bapak Bambang Eryudhawan 9 Desember 2019).
3) Menghilangkan tungku pemanas ruangan seperti lazimnya bangunan-bangunan di Belanda, dengan mempertimbangkan lokasi kota Tegal yang berada di pantai laut Jawa (Budiyuwono, 2015: 5-6).
Ruang dapur juga dipisah dengan gedung utama karena dianggap tidak sehat oleh orang Belanda karena pada saat itu bahan bakar untuk memasak adalah kayu bakar (wawancara dengan Ibu Dyah Nurwidyaningrum 9 Desember 2019).
Setelah
merancang desain tersebut, maka dibangunlah Gedung SCS Tegal yang memiliki luas bangunan ± 7.106 meter berdiri diatas tanah seluas ± 11.000
meter. Panjang bangunan ini ± 120 meter dengan lebar ± 42 meter dan tinggi ± 36
meter. Pemilihan pada batu bata dan kayu yang menjadi bahan utama, menjadikan
bangunan ini unik dan mampu menyesuaikan dengan iklim tropis di Indonesia yang
memiliki ciri khas arsitektur kolonial dengan gaya arsitektur modern yang
ditandai dengan volume bangunan yang berbentuk kubus, gevel horizontal, atap
datar serta didominasi oleh warna putih (Wulansari, 2019).
Fungsi dari pemilihan material bangunan yang terbuat dari kayu
karena pada saat itu persediaan kayu masih sangat berlimpah, dan kayu juga
mencirikan bangunan dari Indonesia (wawancara dengan Ibu Dyah Nurwidyaningrum 9 Desember
2019).
Komentar
Posting Komentar